Minggu, 14 Maret 2010

Amanah di pundak sang AYAH

Saya lebih suka menyebutnya amanah agar jiwa merasa ringan. Menghindari kata “beban” yang terkesan berat ,sulit “ memaksa, dan tidak memberi pilihan lain. Sedang bagi saya , amanah mengindikasikan kesadaran , tanggung jawab, dan proses pembelajaran. Yang produk turunannya adalah kata harus, sehingga bagaimana pun berat keadaannya , ia tetaplah kewajiban yang harus di pikul. Dan amanah itu kewajiban kita menafkahi keluarga, istri dan anak2….!!!! 

Meski kata “kepala rumah tangga” kita pahami dengan baik sekalipun , belum tentu kita dapat memaknainya dengan bener2…, pagi saat kita berangkat kerja langkah2 kaki terasa berat mengayun. Padahal jalanan beraspal mulus, dan kita, kemudian, mengendarai sepeda motor atau bahkan menyetir mobil…. Matahari pagi juga menyengat cerah menghangatkan bumi…
Sebenarnya bukanlah kaki yang berat melangkah .., sebab kaki kita toh juga masih sehat2 saja.. namun gemuruh di dada belum benar2 mereda, meski kepala kita mengangguk pelan saat laporan harian selese di sampaikan oleh sang istri… “ seolah anggukan kita adalah persetujuan ..”. Istri melaporkan beras yang udah menipis, susu si kecil yang udah habis , beli buku dan bayar SPP yang masih menunggak ,angsuran bank yang belum juga terbayar, sedang si bungsu membawa sepatu dan tasnya yang usang di makan jaman … ohhhhh…..

Dalam banyak keadaan “anggukan” itulah satu2-nya pilihan ., seraya mengucap Insya Allah….””” . mudah2 an Allah Swt melimpahkan rizkinya hari ini..” Padahal otak kita belum juga selesei berpikir mencari solusi .. untuk kesemua itu.
Darimana uang bisa kita dapatkan untuk kesemua itu..? apalagi untuk kita yang bergaji bulanan , pilihan terdekat sering kali adalah menggali lubang yang mungkin juga udah dalam…” cari pinjaman siapa lagi ….??. jujur saja hal-hal seperti itu nyaris kita dengar setiap saat.. Sebuah ekspresi kejujuran untuk mencukupi kehidupan mereka yang kita harus cukupi.., dan karena kita adalah pemimpin bagi mereka .. maka hal itu adalah wajar sebenarnya, walau tidak sedikit seorang suami menganggap itu adalah keluhan2 yang tidak berkesudahan .. “”” ya Allah berikanlah kesabaran dan kemudahan jalan hidup mereka..”
Kemudian banyak orang kadang mengambil jalan pintas untuk mencukupi semua kebutuhan mereka , diantara mereka gelap mata berfikir picik ,berdada sempit. Laporan istri dianggap menjadi tuntutan yang membebani. Bersamaan dengan terusiknya sensitivitas kepemimpinan yang di gugat. Hanya ada satu jawaban untuk di anggap berhasil dalam penilaian orang2 sekitar , mereka memberikan jawaban pada sekitar dengan jalan2 yang tidak semestinya.., nah bila sampe terjadi seperti ini orang akan semaunya sendiri karena untuk mencukupi semua itu…, dengan perolehan harta2 yang tidak jelas korupsi mungkin, merampok mengambil hak2 orang lain bahkan sampai menggadaikan iman .. naudzubilahimindzalik….( semoga tidak pada kita )
Faktanya , banyak diantara kita yang gagal total memikul beban beban itu . persaingan hidup yang ketat , standart kelayakan minimal yang meningkat semakin berat, minimnya ilmu agama, hingga kesabaran yang tidak terlatih membuat semuanya jadi kacau balau…

“ Bukankah pecinta dunia ibarat peminum air asin yang semakin banyak di minum akan semakin membuat haus….??”

Saya berharap , kita semua bias tetap tegar menjalani peran ini . sebuah proses pendewasaan yang luar biasa yang akan mencetak pribadi berkualitas tinggi. Tidak tergoda menempuh jalan yang haram, sebab bagaimanapun , perilaku menyimpang tidak akan pernah bisa menukar jatah rejeki yang menjadi hak kita .

“maka tugas kita lah untuk mendidik keluarga agar narimo ing pandum…” merasa qonaah dengan apa yang telah Allah Anugerahkan pada kita. “

Membangun komunikasi yang baik dan kebanggaan iman , hingga kita bias tetep jujur dalam kondisi sesulit apapun. Dan kita percaya bahwa anak dan istri adalah buah kepemimpinan kita sendiri.
Kalopun masih terasa sangat berat insyaallah semua akan ada imbalannya secara sebanding disisi Allah . Kita bisa berpanjang-panjang bermunajat pada allah , mengeluhkan ketidak berdayaan kita, sebab Dialah sebaik-baik penolong. Termasuk menolong hati kita agar tetap sabar dan istiqomah…..

Marilah kita tetep tersenyum kepada anak2 serta istri kita. Mereka memiliki amanahnya sendiri ,yang tidak kalah beratnya dengan amanah yang kita emban. Yang justru dengan itulah kita saling melengkapi,menguatkan,serta memberi penghiburan dan harapan.
Agar kita ringan melangkah , dengan dada yang membuncah karena dukungan sang istri dan anak2 yang sholih .
Lalu mengusap air mata kita yang menetes tanpa mereka tahu, bersyukur atas semua nikmat ini. Sungguh kita tidak ingin mengkhianati kesetiaan mereka yang menunggu, serta mengharap kehadiran kita setiap saat….

“ Dan sesungguhnya Allah apabila mencintai suatu kaum, Dia akan mengujinya dengan musibah, maka barang siapa ridha , maka Allah ridha kepadanya, dan barang siapa marah, maka Allahpun marah padanya…. ( HR>Tirmidzi )

Minggu, 07 Maret 2010

Falsafah Hidup Jawa

Falsafah Ajaran Hidup Jawa memiliki tiga aras dasar utama. Yaitu: aras sadar ber-Tuhan, aras kesadaran semesta dan aras keberadaban manusia. ini sebenarnya masih merupakan keseimbangan yang harus di capai dalam Trisila Kejawen.. Aras keberadaban manusia implementasinya dalam wujud budi pekerti luhur. Maka di dalam Falsafah Ajaran Hidup Jawa ada ajaran keutamaan hidup yang diistilahkan dalam bahasa Jawa sebagai piwulang (wewarah) kautaman.
Secara alamiah manusia sudah dibekali kemampuan untuk membedakan perbuatan benar dan salah serta perbuatan baik dan buruk. Maka peranan Piwulang Kautaman adalah upaya pembelajaran untuk mempertajam kemampuan tersebut serta mengajarkan kepada manusia untuk selalu memilih perbuatan yang benar dan baik menjauhi yang salah dan buruk.
Namun demikian, pemilihan yang benar dan baik saja tidaklah cukup untuk memandu setiap individu dalam berintegrasi dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat.
Oleh karena itu, dalam Piwulang Kautaman juga diajarkan pengenalan budi luhur dan budi asor dimana pilihan manusia hendaknya kepada budi luhur. Dengan demikian setiap individu atau person menjadi terpandu untuk selalu menjalani hidup bermasyarakat secara benar, baik dan pener (tepat, pas).
Cukup banyak piwulang kautaman dalam ajaran hidup cara Jawa. Ada yang berupa tembang-tembang sebagaimana Wulangreh, Wedhatama, Tripama, dll. Ada pula yang berupa sesanti atau unen-unen yang mengandung pengertian luas dan mendalam tentang makna budi luhur. Misalnya : tepa selira dan mulat sarira, mikul dhuwur mendhem jero, dan alon-alon waton kelakon.
Filosofi yang ada dibalik kalimat sesanti atau unen-unen tersebut tidak cukup sekedar dipahami dengan menterjemahkan makna kata-kata dalam kalimat tersebut. Oleh karena itu sering terjadi ”salah mengerti”. Akibatnya ada anggapan bahwa sesanti dan unen-unen Jawa sebagai anti-logis atau dianggap bertentangan dengan logika umum. Akibat selanjutnya berupa kemalasan orang Jawa sendiri untuk mendalami makna sesanti dan unen-unen yang ada pada khasanah budaya dan peradabannya.
Namun kemudian, sesanti dan unen-unen tersebut dijadikan olok-olok dalam kehidupan masyarakat. Mulat sarira dan tepa selira diartikan bahwa Jawa sangat toleran dengan perbuatan KKN yang dilakukan kerabat dan golongannya. Mikul dhuwur mendhem jero dimaknai untuk tidak mengadili orangtua dan pemimpin yang bersalah. Alon-alon waton kelakon dianggap mengajarkan kemalasan.
Padahal ajaran sesungguhnya dari sesanti dan unen-unen tersebut adalah pembekalan watak bagi setiap individu untuk hidup bersama atau bermasyarakat. Tujuan utamanya adalah terbangunnya kehidupan bersama yang rukun, dami dan sejahtera. Bukan sebagai dalil pembenar perbuatan salah, buruk dan tergolong budi asor. Makna dari mulat sarira dan tepa selira adalah untuk selalu mengoperasionalkan rasa pangrasa dalam bergaul dengan orang lain.
Mulat sarira, mengajarkan untuk selalu instropeksi akan diri sendiri.”Aku ini apa? Aku ini siapa? Aku ini akan kemana? Aku ini mengapa ada?” Kesadaran untuk selalu instropeksi pada diri sendiri akan melahirkan watak tepa selira, berempati secara terus menerus kepada sesama umat manusia. Kebebasan individu akan berakhir ketika individu yang lain juga berkehendak atau merasa bebas. Maka pemahaman mulat sarira dan tepa selira merupakan bekal kepada setiap individu yang mencitakan kebebasan dalam hidup bersama-sama, bukan?
Mikul dhuwur mendhem jero, meskipun dimaksudkan untuk selalu menghormat kepada orangtua dan pemimpin, namun tidak membutakan diri untuk menilai perbuatan orangtua dan pemimpin. Karena yang tua dan pemimpin juga memiliki kewajiban yang sama untuk selalu melakukan perbuatan yang benar, baik dan pener. Justru yang tua dan pemimpin dituntut ”lebih” dalam mengaktualisasikan budi pekerti luhur. Orangtua yang tidak memiliki budi luhur disebut tuwa tuwas lir sepah samun. Orangtua yang tidak ada guna dan makna sehingga tidak pantas ditauladani. Pemimpin yang tidak memiliki budi luhur juga bukan pemimpin.
Alon-alon waton kelakon, bukan ajaran untuk bermalas-malasan. Namun merupakan ajaran untuk selalu mengoperasionalkan watak sabar, setia kepada cita-cita sambil menyadari akan kapasitas diri.
Makna positifnya mengajarkan kesabaran dan tidak putus asa ketika dirinya tidak bisa seperti yang lain. Landasan falsafahnya, hidup bukanlah kompetisi tetapi lebih mengutamakan kebersamaan. Banyak pula kita ketemukan Piwulang Kautaman yang berupa nasehat atau pitutur yang jelas paparannya. Sebagai contoh adalah sebagai berikut :
“Ing samubarang gawe aja sok wani mesthekake, awit akeh lelakon kang akeh banget sambekalane sing ora bisa dinuga tumibane. Jer kaya unine pepenget, “menawa manungsa iku pancen wajib ihtiyar, nanging pepesthene dumunung ing astane Pangeran Kang Maha Wikan”. Mula ora samesthine yen manungsa iku nyumurupi bab-bab sing durung kelakon. Saupama nyumurupana, prayoga aja diblakakake wong liya, awit temahane mung bakal murihake bilahi.
Terjemahannya:
“Dalam setiap perbuatan hendaknya jangan sok berani memastikan, sebab banyak sambekala (halangan) yang tidak bisa diramal datangnya pada “perjalanan hidup” (lelakon) manusia. Sebagaimana disebut dalam kalimat peringatan “bahwa manusia itu memang wajib berikhtiar, namun kepastian berada pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Mengetahui”. Maka sesungguhnya manusia itu tidak semestinya mengetahui sesuatu yang belum terjadi. Seandainya mengetahui (kejadian yang akan datang), kurang baik kalau diberitahukan kepada orang lain, karena akan mendatangkan bencana (bilahi).”
Piwulang Kautaman memiliki aras kuat pada kesadaran ber-Tuhan. Maka sebagaimana pitutur diatas, ditabukan mencampuri “hak prerogatif Tuhan” dalam menentukan dan memastikan kejadian yang belum terjadi.

sumber : by www.sekarjagad.org